Gadged Multi Fungsi

Formulir Kontak

KONTAK KAMI

Silahkan isi formulir di bawah ini untuk menghubungi kami

Nama

Email

Pesan

wow : KPK Cetak Sejarah Penjarakan Ketua dewan perwakilan rakyat RI


.com   Setelah melewati rangkaian proses aturan dan bumbu 'drama', risikonya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan Ketua dewan perwakilan rakyat RI Setya Novanto selaku tersangka masalah dugaan korupsi e-KTP ke dalam tahanan, Senin (20/11/2017) dini hari.

Novanto ditahan penyidik di Rutan KPK usai dijemput dari tempat pembantaran, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Penahanan ini yaitu kali pertama yang dilakukan oleh KPK terhadap Ketua dewan perwakilan rakyat aktif sepanjang 15 tahun forum anti-rasuah itu berdiri.

Apalagi, Setya Novanto juga masih berstatus sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Selain itu, Novanto juga telah beberapa kali "lolos" dari dugaan masalah pidana.

Meski begitu, penetapan tersangka dan penahanan Setya Novanto terkait masalah dugaan korupsi proyek e-KTP oleh KPK ini yaitu dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat RI periode 2009-2014 atau ketika penganggaran dan pengadaan proyek e-KTP di Kemendagri Tahun 2011-2012 senilai Rp 5,9 triliun.

Penetapan Novanto sebagai tersangka merupakan pengembangan KPK atas masalah dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka sebelumnya.

Dalam dakwaan kasus yang sama atas terdakwa Irman dan Sugiharto, Novanto disebutkan turut menerima bab Rp 574 miliar dari hasil proyek itu.

Terkuaknya masalah dugaan korupsi mega proyek ini juga tidak lepas dari "nyanyian" mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Selain KPK, forum Kejaksaan Agung pernah menjerat Akbar Tanjung juga ketika aktif menjabat sebagai Ketua dewan perwakilan rakyat RI dan Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 2002.

Akbar Tanjung merupakan senior dan pendahulu Novanto di dewan legislatif dan di Partai Golkar.
Kejaksaan tetapkan Akbar Tanjung atas masalah penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar pada 7 Januari 2002.

Ia mulai ditahan di Rutan Kejaksaan Agung pada 7 Maret 2002.

Kala itu juga diwarnai upaya Akbar berusaha menghindari penahanan dengan masuk kendaraan beroda empat sendiri ketika penyidik kejaksaan hendak menahannya.

Namun, aksinya terhadang kendaraan taktis kepolisian yang sengaja diparkir di depan pintu masuk Kejaksaan Agung.

Namun, perlawanan secara aturan yang dilakukan oleh Akbar membuahkan hasil. Ia hanya mendekam di balik tahanan selama 28 hari.

Pada 25 Maret 2002 sidang perdana Akbar Tanjung digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada 5 April 2002, majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan Akbar.

Akhirnya majelis hakim di pengadilan tingkat pertama itu memvonis Akbar dengan 3 tahun penjara pada 4 November 2002.

Vonis itu dikuatkan dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 17 Januari 2003.

Namun, justru majelis hakim pada Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Akbar pada 12 Februari 2004.

Akhirnya Akbar Tanjung bebas murni.

Penetapan dan penahanan Ketua dewan perwakilan rakyat Setya Novanto selaku tersangka ketika ini menambah panjang daftar nama pucuk pimpinan forum negara dan ketua umum partai yang dijerat dan dijebloskan ke penjara oleh forum KPK.

Sebelumnya, ada Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Irman Gusman selaku Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota dewan perwakilan rakyat 2009-2014 dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Anas Urbaningrum selaku anggota dewan perwakilan rakyat 2009-2014 dan Ketua Umum Partai Demokrat.

Akil Mochtar terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) ketika masih aktif menjabat Ketua MK.
Ia dan sejumlah orang ditangkap di rumah dinasnya, Komplek Widya Chandra Jakarta, pada 2 Oktober 2013.

Dalam rangkaian OTT tersebut, tim KPK menyita barang bukti uang sekitar Rp 3 miliar yang terdiri dari 284.050 Dollar Singapura dan 22.000 Dollar AS.

Akil disangkakan mendapatkan suap dalam pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten pada 2011. Ia juga dijerat dengan pasal pembersihan uang.

Majelis hakim mulai pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta sampai tingkat kasasi di MA tetap memvonis Akil dengan pidana penjara selama seumur hidup.

Hukuman berat dari majelis hakim kepada Akil Mochtar didasari pertimbangan bahwa perbuatan Akil telah meruntuhkan wibawa MK.

Selain itu, Akil merupakan Ketua MK yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat yang mencari keadilan.

Saat ini, Akil tengah menjalani masa eksekusi seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Selanjutnya, ada nama Irman Gusman selaku Ketua DPD RI ditangkap oleh tim KPK di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 17 September 2016, dini hari.
Pihak KPK melansir pimpinan senator itu ditangkap usai mendapatkan bingkisan berisi uang Rp 100 juta dari pihak swasta.

Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Irman Gusman dengan eksekusi pidana penjara selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Majelis hakim juga mencabut hak politik Irman selama 3 tahun sesudah selesai menjalani pidana pokok.

Irman dinilai terbukti mendapatkan suap sebesar Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi.

Irman terbukti memakai pengaruhnya sebagai Ketua DPD untuk mengatur proteksi kuota gula impor dari Perum Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy pada tahun 2016.

Ia terbukti bersedia membantu Memi dengan meminta laba sebesar Rp 300 dari setiap kilogram gula yang diberikan Perum Bulog.

Irman menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti biar Bulog mendistribusikan gula ke kawasan asal pemilihannya, Sumatera Barat.

Dalam pertimbangannya, majelis beropini bahwa Irman telah menciderai amanat sebagai Ketua DPD RI.

Pencabutan hak politik terdakwa yang diberikan pemerintah, bertujuan untuk melindungi publik dari kemungkinan terpilihnya seseorang yang berperilaku koruptif dalam jabatan publik. (Abdul Qodir)



Sumber: tribunnews.com
Sumber http://www.gentanusa.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back To Top